Pengertian, Peran Dan Fungsi Babad Bagi Perkembangan Islam Di Nusantara

Sumber Gambar
bobo.grid.id

Genealogi Babad

Babad secara etimologis berasal dari  bahasa Jawa yang berarti “buka, tebang,  sejarah, riwayat,”. (Prawiroatmodjo,  1980: 2). Selaras dengan Mangunsuwito  (2002: 303) babad juga dapat dimaknai sebagai  “hikayat, sejarah, cerita tentang peristiwa  yang sudah terjadi”. Babad merupakan salah  satu jenis karya sastra Jawa yang digubah  dalam rangka kehidupan masyarakat yang  bersangkutan serta memilki aspek historis.  (Rupadi, 2006: 23). Dalam kenyataanya,  babad sebagai hasil kebudayaan mempunyai  peranan penting dalam kehidupan masyarakat  Jawa, sesuai dengan situasi dan kondisi  zamannya. Penyebutan babad di Jawa sama  dengan di Madura dan Bali, sedangkan di  Sulawesi Selatan dan Sumatera disebut lontara  dan di Burma dan Thailand dikenal dengan  sebutan kronikel (Soedarsono dalam Sulastin  Sutrisno dkk., 1991: 305).

Sedangkan secara  terminologis, babad merupakan karya sastra  yang berkaitan atau yang menceritakan halhal yang berhubungan dengan pembukaan  hutan, penobatan penguasa daerah, pendiri  kerajaan, pemindahan pusat kerajaan atau  pemerintahan, peperangan, adat istiadat,  bahkan sering terdapat jalinan perkawinan dan  ikatan perkerabatan. (Darusuprapta, 1980:  5). Babad menurut Rokhman (2014:11) berisi  cerita sejarah, namun tidak selalu berdasarkan  fakta. Teks babad isinya merupakan campuran  antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan.  Itulah sebabnya, babad sering disamakan  dengan hikayat. Di tanah Melayu tulisan yang  mirip dengan babad dikenal dengan sebutan  tambo atau silsilah. Contoh Babad adalah Babad  Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram,  Babad Surakarta dan Babad Ponorogo.

Menurut Firmanto (2015: 47-48), babad  sebagai karya klasik merupakan karya tulis  orisinal yang berupa naskah-naskah atau  manuskrip asli tulisan tangan yang masih  tersimpan di beberapa lembaga maupun  perorangan, yang termasuk dalam karya tulis  ini bukan merupakan suntingan atau edisi dari  naskah aslinya. Babad pada umumnya tumbuh  dan berkembang di lingkungan tertentu saja.  Kebanyakan babad ditulis dilingkungan kraton,  kadipaten dan tanah perdikan. Kraton, sejak  dulu hingga sekarang pada umumnya memiliki  abdi dalem kapujanggan, yaitu hamba raja yang  bekerja di bidang kepujanggaan. Tugasnya  berkaitan dengan aktifitas tulis menulis,  baik yang bersifat sastra maupun non sastra,  seperti menggubah babad yang berisi semacam  sejarah atau riwayat raja dan para pengikut  istana. Pokok persoalan yang ditulis mengenai  diri raja, para adipati, para bangsawan, kerabat  dekat raja, para tokoh di tanah perdikan,  beserta hal ikhwal yang bertalian dengan  kehidupan dan peristiwa yang terjadi di  tempat-tempat tersebut. Dengan demikian  jelas bahwa bahwa babad mempunyai nilai  sebagai pengesahan dan pengukuhan kepada  penguasa-penguasa tersebut (Darusuprap-ta,  1975: 21).

 Oleh karena itu, babad sebagai salah  satu peninggalan tertulis merupakan naskah  penting yang lebih banyak menyimpan  informasi tentang masa lampau jika  dibandingkan dengan peninggalan yang  berwujud bangunan.
Haryati Soebadio (1975:  1) menyatakan bahwa “naskah-naskah lama  merupakan dokumen bangsa yang menarik  bagi peneliti kebudayaan lama, karena  memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan  informasi yang lebih luas dibanding puing bangunan megah seperti candi, istana raja dan  pemandian suci yang tidak dapat berbicara  dengan sendirinya, tapi harus ditafsirkan”.  (Rupadi, 2006: 3)

Babad dalam Historiografi Nusantara


 Historiografi dalam ilmu sejarah  merupakan titik puncak seluruh kegiatan  penelitian sejarah. Dalam metodologi sejarah,  historiografi merupakan bagian terakhir.  Langkah terakhir, tetapi langkah terberat,  karena di bidang ini letak tuntutan terberat  bagi sejarah untuk membuktikan legitimasi  dirinya sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah.  (Poespopronjo, 1987:1). Pada umumnya  tradisi penulisan sejarah di Indonesia berada  dalam lingkungan keraton (istana sentris)  dimana hasilnya dikenal dengan penulisan  sejarah tradisional (historiografi tradisional).

Dalam hal ini babad merupakan bagian  dari historiografi tradisional. Historiografi  tradisional bersifat etno sentris (kedaerahan),  istana sentris (lingkungan keraton) dan  magis religius (dilandasi unsur magis dan  kepercayaan), makanya hasil historiografi  tradisional selain dalam bentuk sejarah ada pula  dalam bentuk sastra, babad, hikayat, kronik,  dan lain-lain. Dalam historiografi tradisional  tokoh sejarahnya sering dihubungkan dengan  tokoh popular jaman dahulu bahkan dengan  tokoh yang ada dalam mitos maupun legenda.  hal ini di maksudkan untuk mengukuhkan dan  melegitimasi kekuasaan, identitas dari tokoh  tersebut serta untuk mendapatkan pulung  (kharisma) yang diwariskan dari tokoh-tokoh  sebelumnya.
Contoh dalam Babad Tanah Jawi  disebutkan bahwa raja Mataram Islam pertama  merupakan keturunan dari para nabi, tokoh  wayang dalam Mahabharata, Iskandar agung  dari Macedonia, raja-raja Jawa bahkan punya  hubungan dengan Nyai Roro Kidul penguasa  pantai selatan. Selain tradisi penulisan sejarah  dalam lingkungan istana, tradisi penulisan  sejarah juga berkembang di beberapa daerah  atau wilayah tertentu sehingga melahirkan  sejarah lokal yang kebanyakan muncul dari  sumber-sumber teks babad. (Firmanto,  2015:37-38).

Secara teoritis dan metodologis babad  memiliki kelemahan, terutama apabila  dikaitkan dengan masalah temporal, spasial  dan faktual. Akan tetapi, bagaimanapun juga,  babad tetap bisa dipergunakan sebagai sumber  sejarah, karena di dalamnya mengandung  beberapa peristiwa yang dapat disebut  sebagai peristiwa sejarah. Penggunaan babad  sebagai sumber sejarah oleh sejarawan untuk  dijadikan sumber pembanding. Dengan  adanya sumber pembanding, terutama dari  luar maka tidak mustahil beberapa peristiwa  yang diceritakan dalam babad akan muncul  sebagai fakta sejarah. Sehingga sependapat  dengan pandangan Ricklefs (2008) yang  mengemukakan beberapa teks dalam babad  dapat dijadikan sumber rujukan penulisan  sejarah. Misalnya, Babad Pati yang ditulis oleh  Ki Sosrosumarto dan Dibyosudiro pada tahun  1925 dan diterbitkan dalam tulisan Jawa oleh  NV. Mardimulya. Babad Pati dijadikan sumber  primer dalam memperoleh gambaran tentang  perang tanding antara Adipati Jayakusuma  melawan Panembahan Senopati. (Harianti  dkk, 2007:10).  Purwanto (2006:98) juga menyatakan  bahwa karya sastra termasuk babad telah  menjadi bagian yang integral dengan sejarah  sebagai sebuah tradisi. Sebagai sebuah tradisi,  karya sastra mempunyai empat fungsi utama.  Pertama, sebagai alat dokumentasi, kedua  sebagai media untuk mentransfer memori  masa lalu antar generasi, ketiga sebagai alat  untuk membangun legitimasi, dan keempat  sebagai bentuk eskpresi intelektual. Sebagai  sebuah karya tradisi, babad memuat realitas  yang terbungkus dalam fantasi. Sehingga  sejarawan perlu meningkatkan pemahaman  metodologis dan pengetahuan substansi  historis yang luas dan mendalam untuk dapat  mengungkap realitas yang ada di dalamnya.  (Harianti dkk, 2007:12-13).

Meskipun  terdapat unsur-unsur sejarah dan sering kali  digunakan sebagai sumber sejarah, Babad  awalnya tidak dipandang sebagai karya sejarah  melainkan sebagai karya sastra. Menurut I  Wayan Sueta (1993:2), meskipun dalam babad  terdapat unsur-unsur sejarah, namun babad  tidaklah pertama-tama dapat dipandang sebaga karya sejarah, melainkan babad dapat  merupakan suatu cerita yang dikarang oleh  seorang pujangga atau pratisentana dari suatu  klen yang mempunyai kemampuan untuk  mengarang cerita baik yang berhubungan  dengan suatu kelompok, kerajaan maupun  jalannya pemerintahan.

Beberapa permasalahan dalam  historiografi Nusantara khususnya di Indonesia  sampai saat ini masih terus mengemuka, salah  satunya adalah kurangnya sumber tertulis,  khususnya masa abad XVI-XVIII. Padahal masa  tersebut merupakan masa yang sangat penting  dimana kerajaan-kerajaan Islam memainkan  peranan yang signifikan. Untuk masa kerajaan  Islam, sumber tertulis yang dapat ditemui  masih terbatas pada historiografi tradisi  seperti: babad, kronik, hasil kesusastraan,  dan kitab-kitab sastra yang lain. (Harianti  dkk, 2007:15). Sumber sejarah yang berupa  babad sampai saat ini masih belum banyak  dimanfaatkan oleh para sejarawan. Mungkin  karena secara teoritik dan metodologis babad  memiliki banyak kekurangan, khususnya  bila dikaitkan dengan persoalan temporal,  faktual maupun spasial. Di samping itu,  karena merupakan sebuah karya sastra, maka  babad menggunakan bahasa sastra yang sukar  dipahami oleh masyarakat awam. Babad Tanah  Jawi misalnya, sampai saat ini masih belum  dapat dipahami seluruhnya mengenai asal,  maksud, bahan dan komponennya. Bahkan  Graaf (1985) menyebutkan bahwa Babad  Tanah Jawi sebagai sebuah tulisan yang aneh.  Ada dugaan bahwa babad tersebut ditulis  oleh beberapa orang yang ditujukan untuk  memperkuat legitimasi dari raja yang sedang  berkuasa. Faktor isi yang kadang-kadang tidak  dapat diterima dengan akal sehat, semakin  menjauhkan perhatian sejarawan terhadap  karya sastra ini. (Harianti dkk, 2007:16).

Terlepas dari semua kelemahan-kelemahan  tersebut, sebenarnya babad juga mengandung  beberapa fakta sejarah. Dalam hal ini Taufik  Abdullah menyatakan bahwa melalui karya  sastra termasuk babad kita dapat memahami  prosesi peristiwa masa lalu dan menangkap  kembali struktur waktu dari realitas. Lebih  lanjut Taufik Abdullah menyatakan bahwa  karya sastra merupakan pengalaman kolektif  dari pengarang dan merefleksikan suasana  waktu ketika karya itu diciptakan. (Purwanto,  2006: 90)

Sumber penulisan babad menggunakan  rujukan tertulis atau lisan, seperti naskah  lama, silsilah, nama tempat dan lain-lain,  akibatnya banyak muncul unsur-unsur dalam  babad yaitu mite, legende, simbolisme, hagiografi,  sugesti dan sejenisnya. Darusuprapta (1992:8)  berpendapat bahwa unsur-unsur mite, legende,  hagiografi, simbolisme dan sugesti dimaksudkan  untuk menggerakkan cerita, dan memberikan  bayangan hal-hal yang bakal terjadi, yang  memberikan dukungan penuh kepada pelaku  utama atau menjadi penunjang istimewa  terhadap kejadian yang dilukiskan. Mite yaitu  cerita prosa yang benar- benar terjadi serta  dianggap suci, misalnya silsilah raja-raja, nabinabi, tokoh-tokoh dalam wayang atau tokoh  suci lainnya. Legende adalah lukisan tokoh  manusia yang mempunyai keistimewaan  berhubungan dengan makluk halus, bertalian  dengan unsur- unsur tanah, air, udara dan  api. Simbolisme berupa lambang-lambang,  misalnya pusaka-pusaka bertuah, kata-kata  kiasan, bilangan-bilangan keramat. Hagiografi  yaitu lukisan kemukjijatan seseorang yang  banyak diperlihatkan oleh tokoh keramat.  Sugesti berupa ramalan, suara gaib, tabir mimpi  dan pamali atau pantangan. (Rupadi, 2006:25)

Babad Sebagai Sumber Sejarah Islam  Nusantara


Penulisan sejarah Islam di Nusantara tidak  bisa dilepaskan teks babad sebagai salah satu  sumber sejarah. Sebagaimana Islamisasi di  tanah Jawa yang digerakkan oleh Wali Songo  banyak diungkap dalam teks babad. Peran Wali  Songo di pesisir utara Jawa dalam sumber  babad telah banyak memberikan gambaran  tentang kapan dan bagaimana Islam masuk  ke tanah Jawa, termasuk tentang siapa dan  bagaimana Islam disebarkan dan disemaikan  di lingkungan masyarakat Jawa. Babad  Demak, Babad Gersik, Babad Majapahit, Babad  Cirebon dan Babad Tanah Jawi, dalam berbagai  versinya, merupakan sumber historiografi  Islam Nusantara yang penting dalam memberikan gambaran kesejarahan proses  interaksi antara Islam dan kebudayaan Jawa.  Demikian juga halnya tentang interaksi dan  reaksinya. Babad Demak, Babad Majapahit,  Babad Jaka Tingkir. Babad Pajang, Babad  Cirebon, Babad Tanah Jawi dan beberapa  serat, seperti Serat Sunan Bonang, Pitutur Seh  Bari, Serat Siti Jenar, Serat Cabolek dan Serat  Centhini banyak menggambarkan tentang  dialog antara Islam dan tradisi budaya lokal.

Mengenaik Islam masuk ke tanah Jawa,  sumber-sumber Babad menceritakan bahwa  komunitas Islam telah tumbuh di lingkungan  kota pelabuhan Surabaya, Gresik dan Tuban  sekalipun Kerajaan Hindu Majapahit masih  berkuasa. Kota-kota pelabuhan Kerajaan  Majapait itu sesungguhnya telah tumbuh sejak  akhir abad ke-13 dan meningkat pada abad ke15-16, serta telah memiliki jaringan pelayaran  dan perdagangan dengan Pasai dan Malaka,  serta daerah Maluku dan Nusa Tenggara  Timur. Sumber Babad juga menjelaskan bahwa  penyebaran Islam dilakukan oleh para mubalig  atau da’i yang terkenal dengan sebutan Wali  yang dalam tradisi Jawa lebih dikenal sebagai  “Wali Songo” (Wali Sembilan). Mereka yang  banyak disebut dalam Babad antara lain ialah  Sunan Ngampel-Denta, Sunan Bonang, Sunan  Giri, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan  Muria, Sunan Dradjat, Sunan Tembayat,  Sunan Wali Lanang (Sunan Malik Ibrahim),  dan Sunan Seh Siti Jenar. (Suryo, 2000:4)  Dalam sumber historiografi Jawa, baik  dalam bentuk Babad maupun Serat istilah  santri, kiai atau ulama telah lama dikenal,  terutama dalam kaitan penggambaran proses  masuknya Islam dan berdirinya kerajaankerajaan Islam di Jawa. Selain itu, babad  sebagai sumber lokal banyak memberikan  gambaran tentang bagaimana orang Jawa  memberikan penghargaan dan penghormatan  tinggi kepada raja, guru atau kiai, di samping  kepada orang tua atau orang yang dipandang  tua, sebagai bagian dari pandangan budayanya.  Ada pertanda bahwa pandangan ini merupakan  kecenderungan umum yang berlaku dalam  kebudayaan Asia. Demikian pula kepercayaan  tentang adanya kelebihan (karomah) dan  barokah yang dimiliki oleh para wali, kiai, atau  ulama banyak dijumpai dalam sumber-sumber  lokal sejarah Jawa. Tidak mengherankan,  apabila orang Jawa menempatkan kiai sebagai  golongan pemimpin yang kharismatik, seperti  halnya Ulama di lingkungan masyarakat Islam  lainnya. (Suryo, 2000:5).

Sumbangsih Babad dalam Peradaban  Islam Nusantara


Sumber-sumber babad menurut sejarawan  Islam Agus Sunyoto (2016:193-199) telah  mengungkapkan fakta sejarah yang menarik  misalnya dalam Babad Ngampeldenta diungkap  bahwa pengangkatan Raden Rahmat secara  resmi sebagai Imam di Surabaya dengan gelar  sunan dan kedudukan wali di Ngampeldenta  dilakukan oleh Raja Majapahit. Dengan  demikian, Raden Rahmat lebih dikenal dengan  sebutan Sunan Ngampel. Begitu juga dalam  Babad Tanah Jawi dituturkan bagaimana  Raden Rahmat atau Sunan Ampel dalam  upaya memperkuat kekerabatan untuk tujuan  dakwah menikahkan Khalifah Usen (nama  tempat di Rusia selatan dekat Samarkand)  dengan putri Arya Baribin, Adipati Madura.

Dari tilikan teks babad dapat diketahui  salah satu hasil proses Islamisasi di Nusantara  khususnya di Jawa yang cukup penting adalah  lahirnya unsur tradisi keagamaan santri  dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat  Jawa. Tradisi keagamaan santri ini bersama  dengan unsur pesantren dan kiai telah  menjadi inti terbentuknya Tradisi Besar  (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada  hakekatnya merupakan hasil akulturasi antara  Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain  itu, Islamisasi di Jawa juga telah melahirkan  sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang  menjadikan keduanya, yaitu tradisi santri dan  tradisi Kraton, sebagai bagian (subkultur)  yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan  Jawa. (Suryo, 2000:1) Tradisi keagamaan  santri terlihat dalam Babad Demak yang  menggambarkan bagaimana Sunan Ampel  sebagai guru memberikan ajaran esoteris  kepada muridnya Raden Paku (Sunan Giri)  yaitu ilmu tasawuf yang didasarkan pada ilmu  kalbu sebagaimana dituturkan dalam kalimat  berikut:

eng sinuhun angandika aris/ mengko  raden sira ingsun wejang/ ilmu ingkang  sayektine / den dhemit anggonipun/ para  raden karepe iki/ ana lafadz kang endah/  dhemit enggonipun/ mengkana unining  lafadz/ paran raden karepe puniki/ tegese  bi nasrih_//Raden Paku matur awot sari/ mangsa  borong ing ngarsa sampeyan/ dereng  dugi kula angger/ ing rahos kang punika/  Sunan Ampel ngandika aris/ bisa nara  bisaha/ lah jawaben kulup/ raden paku  atur sembah sigra jawab bi ru’yatil fuad/  punika atur kula//Jeng sinuhun angandika malih/ fa innama  tuwallau fatsamma wajhullah paran  artine/ rahaden nembah atur/ kabiran  alhamdulillah/ lan malih katsiran/ katur  pukulun fa subhanallahi bukratan wa  ashila inni wajjahtu puniki/ wajhiya  mangga karsa//Apan lafadz tunggale puniki// atur  kula dhumateng sampeyan/ jeng sunan  pangandikane/ ya bener raden iku/  idhepira dipun tubail/ den jeneng idhepira/  nembah ira iku/ raden cinandhak kang  asta/ dipun wejang ilmu ingkang sidiqsidiq ru’yah kang karu’yatan//

 Berdasarkan Babad Demak diatas menurut  penafsiran Sjamsudduha ajaran Sunan Ampel  berangkat dari tiga kata: bi nasrih, tubadil, dan  daim dengan kata kunci bi ru’yatil fuad. Ilmu  yang diajarkan itu hanya bisa dipahami melalui  mata hati atau mata batin. Inti ajarannya pada  fa innama tuwallau fatsamma wajhullah. Kabiran  alhamdulillah katsiran, fa subhanallahi bukratan  wa ashila, inni wajjahtu wajhiya. (Sunyoto,  2016:200).

Dari teks-teks babad diatas  memperlihatkan Islamisasi di Jawa telah  melahirkan peradaban santri sebagaimana  pernyataan Benda (1983:12-14) yang  menyebutkan bahwa peradaban santri  memberikan pengaruh yang besar terhadap  kehidupan agama, masyarakat dan politik.  Sementara Geertz (1976) memandang  kehadiran Islam di Jawa telah menjadikan  terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat  Islam di Jawa yang disebut Santri, yang  berbeda dari tradisi sosio-kultural lainnya,  yaitu Abangan dan Priyayi. Dari perspektif  historis menunjukkan bahwa tradisi Santri  secara berkelanjutan telah menjadi basis  kekuatan sosial politik pada masa awal  pendirian kerajaan Islam Demak, Cirebon  dan Banten di daerah pesisir utara Jawa dan  pada masa kerajaan Mataram Islam di daerah  pedalaman Jawa. (Suryo, 2000:2).

Menurut Suryo (2000:6) Ampeldenta atau  Ampelkuning di Surabaya, yang terletak tidak  jauh dari Gresik, sebagaimana disebut-sebut  dalam Babad Demak dan Babad Majapahit  dan Para Wali, merupakan komunitas Islam  dan pesantren pertama, yang didirikan  oleh Raden Rakhmat atau Sunan Ngampel.  Pendirian pemukiman itu dilakukan atas  ijin raja Majapahit Brawijaya. Demikian pula  penyiaran agama Islam yang dilakukan oleh  Sunan Ngampel. Sekalipun Brawijaya sendiri  belum mau masuk agama Islam, tetapi ia tidak  melarang rakyat Majapahit masuk Islam dan  berguru kepada Sunan Ngampel. Di dalam  Babad Demak disebutkan sebagai berikut.

“Dyan Rahmat pinrenah mungging/  Ngampeldenta sengga katong/ Nenggya  Sunan ing Ngampel jejulukipun/ Sang  Nata wus Anglilani/ ngadekaken  Jumungah wektu/ karseng narpa tan  mangeni/ marang sagung kang ponang  wong/ Kang asama Islam anut gama  Rasul/ nging sang Nata dereng arsi/ tan  winarna lamenipun/ kang dhedhukuh  Ngampelgadhing/ tangkar-tumangkar  wus argon_//.”
(Terjemahan bebas: “Raden Rakhmat  diperintah oleh raja (Brawijaya) agar bermukim  di Ampeldenta, yang kemudian bergelar  Sunan Ngampel. Sang raja telah mengijinkan  mendirikan Jamaah Sholat Jum’at dan raja juga  tidak melarang terhadap setiap orang Islam  untuk menjalankan perintah ajaran agamanya.  Sekalipun demikian sang raja belum mau  masuk Islam. Tidak lama desa Ngampelgading  (Ampeldenta) berkembang menjadi pemukiman  besar”).

Seperti halnyahBabad Demak, Babad  Majapahit dan Para Wali, juga menceritakan hal  yang sama seperti berikut dibawah ini.

“Kawarnaa Njeng Sunan Ngampelgading/  Wus lami nggennya dhedhukuh/ Sampun  tengkar-tumangkar/ Langkung arja yata  wau dhukuhipun/ Agemah dadi negara,  Kathah ingkang sobat murid_//.” (Terjemahan bebas:” diceritakan bahwa  Kanjeng Sunan Ngampel, telah lama membangun  pemukiman, lama-kelamaan penduduknya  berkembang banyak, hidupnya makmur, dan  tumbuh menjadi sebuah kota pesantren yang  banyak dikunjungi oleh para santri dari jauh”).

  Suryo (2000:6-7) juga menyatakan bahwa  Pesantren Ampel Denta berkembang pesat  tidak hanya menjadi tempat belajar para santri  yang berasal dari daerah sekitarnya, termasuk  keluarga raja Majapahit yang masuk Islam,  tetapi juga tempat belajar para santri yang  datang dari jauh, misalnya Raden Patah (putra  Brawijaya dengan Putri Cina), sebelum menjadi  Sultan Demak, dan bersama dengan adiknya  Raden Husen yang datang dari Palembang  (putra Aria Damar dengan putri Cina). Para  putra Sunan Ngampel sendiri juga menjadi  santri di Ampeldenta, sebelum menjadi  tokoh Wali dan pendiri pesantren di Giri,  Tuban, Muria dan lainnya.

 Menurut Babad  Demak, Sunan Ngampel menjadi salah satu  induk kerabat Wali. Perkawinannya dengan  Dyah Manila putri Arya Teja di Tuban, Sunan  Ngampel menurunkan Sunan Bonang, Prabu  Satmata atau Sunan Giri, Syeh Benthong atau  Syeh Bondan yang kemudian menjadi Sunan  Kudus, Syeh Maulana Iskak atau Sunan Muria,  dan seorang putri yang menjadi istri Raden  Patah, Sultan Demak. Sunan Giri kemudian  mendirikan Pesantren Giri, yang pada masa  kemudian dapat menggantikan kedudukan  pesantren Ampel Denta, setelah Sunan  Ngampel wafat. Sunan Giri juga digambarkan  tampil menjadi pemuka para Wali Sembilan  dan Dewan Para Wali, selain menjadi  pemimpin spiritual-keagamaan. Karena itu  perannya dalam proses Islamisasi di Jawa dan  di luar Jawa cukup besar.

 Dalam hubungan ini,  Babad memberikan petunjuk tentang adanya  hubungan kekerabatan antara sesama para  wali dan hubungan kekerabatan para wali  dengan para elite kerajaan.  Sumber-sumber Babad juga telah  memberikan rekaman yang tak ternilai dalam  memberikan gambaran historis tentang  proses Islamisasi di Jawa sebagai bagian  tak terpisahkan dari perjalanan Islam di  Nusantara.

Sebagian dalamm Babad Gresik  dituturkan peran Pesantren Giri dalam proses  Islamisasi cukup luas, tidak hanya terbatas  di daerah pedalaman Jawa Timur, melainkan  juga ke daerah Kalimantan Timur, Maluku,  Lombok, dan Sumbawa sejalan dengan arus  perdagangan di Nusantara. Sehingga Wiselius  dan de Graaf menyebut Pesantren Giri sebagai  “Kerajaan Ulama” atau “Geestelijke Heeren”  yang didirikan pada tahun 1478. Disebut  demikian, karena kekuasaan para ulama di  Giri ini hampir menyerupai kekuasaan raja  yang memiliki istana (kraton atau kedaton),  para pengikut, dan penjaga keamanan keraton.  (Suryo: 2000: 7-8). 

Hasil proses penyebaran Islam di  Nusantara terutama di Jawa dari sumbersumber babad juga telah melahirkan kreativitas  intelektual di lingkungan pesantren di Pesisir Utara Jawa pada sekitar abad ke-16 sampai  ke-17. Menurut Suryo (2000: 10) karya Babad  dan Serat yang ditulis dalam bentuk tembang  macapat, dan dengan aksara Arab Pegon,  merupakan ciri karya sastra Pesisiran. Selain  itu, cerita dalam karya sastra tersebut banyak  yang mengambil tema tentang riwayat sekitar  Nabi, Sahabat, dan para keluarganya serta para  Wali di Jawa. Babad Ceribon, Babad Demak  Pesisiran, Serat Yusuf, dan Serat Pertimah,  merupakan contoh dari karya sastra Pesisiran,  yang sampai sekitar 1950-an masih digemari  sebagai bahan acara macapatan oleh sebagian  masyarakat pedesaan di bekas Karesidenan  Pekalongan. Semuanya ditulis dengan aksara  pegon dan dengan gaya bahasa Pesisiran. Ciri  ini tidak ditemukan dalam karya sastra bentuk  tembang di kraton pedalaman Jawa baik  Surakarta dan Yogyakarta. (Arik Dwijayanto &  Dawam Multazam)



Daftar Pustaka

Atmodarminto. 1955. Babad Demak. Yogyakarta: Pesat.
Benda, H.J. 1983. The Crescent and the Rising Sun. Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945.  Leiden: KITLV.
Darusuprapta, 1982. Serat Wulang Reh, Surabaya: Citra Jaya.
Darusuprapta, 1991. Ringkasan Centhini dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
De Graaf, HJ. 1985. Awal Kebangkitan Mataram: Masa Panembahan Senopati terj. De Regering van  Panembahan Senapati Ingalaga). Jakarta: Grafitti Pers.
Firmanto, Alfian. 2015. Historiografi Islam Cirebon. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1.
Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago & London: University of Chicago Press.
Harianti dkk. 2007. Perang Tanding Adipati Jayakusuma Melawan Panembahan Senopati Dalam Babad Pati.  Laporan Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta.
Mangunsuwito, 2002. Kamus Bahasa Jawa: Indonesia ­ Jawa. Bandung: Irama Widya.
Prawiroatmodjo. S. 1980. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid I. Jakarta: Haji Masagung.
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ras, J.J. 1987. The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the Javanese Court Chronicle. Leiden.
Ricklefs, M.C. 2008. A History of Modern Indonesia Since C. 1200, Palgrave MacMillan, New York.
Rupadi, Eko. 2006. Babad Pracimaharja Kaparingan Nama Serat Sri Udyana: Suatu Tinjauan Filologis, Skripsi  Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Rokhman, M. Nur. 2014. Perpaduan Budaya Lokal, Hindu Buddha, dan Islam di Indonesia. Diktat Universitas  Negeri Yogyakarta.
Soedarsono dalam Sutrisno, Sulastin. dkk. 1991. Bahasa, Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Gajah Mada University  Press.
Sueta, I Wayan. 1993. Babad Ksatrya Taman Bali. Upada Sastra Bali.
Sunyoto, Agus. 2016. Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah.  Depok: Pustaka IIMaN.
Suryo, Djoko. 2000. Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam Di Jawa. Makalah Seminar Pengaruh  Islam Terhadap Budaya Jawa.

0 Response to "Pengertian, Peran Dan Fungsi Babad Bagi Perkembangan Islam Di Nusantara"

Post a Comment